SEPI ANGIN DARI KINABALU...

ku titipkan rinduku dari perantauan pada kedua orang tuaku di dalam blog ini...Ya Allah Ya Tuahnku,limpahkan lah Rahmat kasih sayangMu pada mereka....lindungi dan jauhkanlah mereka dari kecelakaan serta kurniakanlah kebahagiaanMu pada mereka di dunia dan akhirat....sesungguhnya aku terlalu menyayangi mereka...amin..

Tuesday, March 29, 2011

25 nasihat untuk anakku...

  1. Hai anakku: ketahuilah, sesungguhnya dunia ini bagaikan lautan yang dalam, banyak manusia yang karam ke dalamnya. Bila engkau ingin selamat, agar jangan karam, layarilah lautan itu dengan SAMPAN yang bernama TAKWA, ISInya ialah IMAN dan LAYARnya adalah TAWAKKAL kepada ALLAH.
  2. Orang – orang yg sentiasa menyediakan dirinya untuk menerima nasihat, maka dirinya akan mendapat penjagaan dari ALLAH. Orang yang insyaf dan sadar setalah menerima nasihat orang lain, dia akan sentiasa menerima kemulian dari ALLAH juga.
  3. Hai anakku; orang yang merasa dirinya hina dan rendah diri dalam beribadat dan taat kepada ALLAH, maka dia tawadduk kepada ALLAH, dia akan lebih dekat kepada ALLAH dan selalu berusaha menghindarkan maksiat kepada ALLAH.
  4. Hai anakku; seandainya ibu bapamu marah kepadamu kerana kesilapan yang dilakukanmu, maka marahnya ibu bapamu adalah bagaikan baja bagi tanam tanaman.
  5. Jauhkan dirimu dari berhutang, karena sesungguhnya berhutang itu boleh menjadikan dirimu hina di waktu siang dan gelisah di waktu malam.
  6. Dan selalulah berharap kepada ALLAH tentang sesuatu yang menyebabkan untuk tidak menderhakai ALLAH. Takutlah kepada ALLAH dengan sebenar benar takut ( takwa ), tentulah engkau akan terlepas dari sifat berputus asa dari rahmat ALLAH.
  7. Hai anakku; seorang pendusta akan lekas hilang air mukanya karena tidak dipercayai orang dan seorang yang telah rusak akhlaknya akan sentiasa banyak melamunkan hal hal yang tidak benar. Ketahuilah, memindahkan batu besar dari tempatnya semula itu lebih mudah daripada memberi pengertian kepada orang yang tidak mau mengerti.
  8. Hai anakku; engkau telah merasakan betapa beratnya mengangkat batu besar dan besi yang amat berat, tetapi akan lebih berat lagi daripada semua itu, adalah bilamana engkau mempunyai tetangga yang jahat.
  9. Hai anakku; janganlah engkau mengirimkan orang yg bodoh sebagai utusan. Maka bila tidak ada orang yang cerdik, sebaiknya dirimulah saja yang layak menjadi utusan.
  10. Jauhilah bersifat dusta, sebab dusta itu mudah dilakukan, bagaikan memakan daging burung, padahal sedikit saja berdusta itu telah memberikan akibat yang berbahaya.
  11. Hai anakku; bila engkau mempunyai dua pilihan, takziah orang mati atau hadir majlis perkarwinan, pilihlah untuk menziarahi orang mati, sebab ianya akan mengingatkanmu kepada kampung akhirat sedang kan menghadiri pesta perkarwinan hanya mengingatkan dirimu kepada kesenangan duniawi saja.
  12. Janganlah engkau makan sampai kenyang yang berlebihan, karena sesungguhnya makan yang terlalu kenyang itu adalah lebih baiknya bila makanan itu diberikan kepada anjing saja.
  13. Hai anakku; janganlah engkau langsung menelan saja karena manisnya barang dan janganlah langsung memuntahkan saja pahitnya sesuatu barang itu, kerana manis belum tentu menimbulkan kesegaran dan pahit itu belum tentu menimbulkan kesengsaraan.
  14. Makanlah makananmu bersama sama dengan orang orang yang takwa dan musyawarahlah urusanmu dengan para alim ulama dengan cara meminta nasihat dari mereka.
  15. Hai anakku; bukanlah satu kebaikan namanya bilamana engkau selalu mencari ilmu tetapi engkau tidak pernah mengamalkannya. Hal itu tidak ubah bagaikan orang yg mencari kayu bakar, maka setelah banyak ia tidak mampu memikulnya, padahal ia masih mau menambahkannya.
  16. Hai anakku; bilamana engkau mau mencari kawan sejati, maka ujilah terlebih dahulu dengan berpura pura membuat dia marah. Bilamana dalam kemarahan itu dia masih berusaha menginsyafkan kamu, maka bolehlah engkau mengambil dia sebagai kawan. Bila tidak demikian, maka berhati hatilah.
  17. Selalulah baik tutur kata dan halus budi bahasamu serta manis wajahmu, dengan demikian engkau akan disukai orang melebihi sukanya seseorang terhadap orang lain yang pernah memberikan barang yang berharga.
  18. Hai anakku; bila engkau berteman, tempatkanlah dirimu padanya sebagai orang yang tidak mengharapkan sesuatu daripadanya. Namun biarkanlah dia yang mengharapkan sesuatu darimu.
  19. Jadikanlah dirimu dalam segala tingkah laku sebagai orang yang tidak ingin menerima pujian atau mengharap sanjungan orang lain karena itu adalah sifat riya’ yang akan mendatangkan cela pada dirimu.
  20. Hai anakku; janganlah engkau condong kepada urusan dunia dan hatimu selalu disusahkan olah dunia saja karena engkau diciptakan ALLAH bukanlah untuk dunia saja. Sesungguhnya tiada makhluk yang lebih hina daripada orang yang terpedaya dengan dunianya.
  21. Hai anakku; usahakanlah agar mulutmu jangan mengeluarkan kata kata yang busuk dan kotor serta kasar, karena engkau akan lebih selamat bila berdiam diri. Kalau berbicara, usahakanlah agar bicaramu mendatangkan manfaat bagi orang lain.
  22. Hai anakku; janganlah engkau mudah ketawa kalau bukan karena sesuatu yang menggelikan, janganlah engkau berjalan tanpa tujuan yang pasti, janganlah engkau bertanya sesuatu yang tidak ada guna bagimu, janganlah mensia-siakan hartamu.
  23. Barang siapa yang penyayang tentu akan disayangi, siapa yang pendiam akan selamat daripada berkata yang mengandungi racun, dan siapa yang tidak dapat menahan lidahnya dari berkata kotor tentu akan menyesal.
  24. Hai anakku; bergaullah rapat dengan orang yang alim lagi berilmu. Perhatikanlah kata nasihatnya karena sesungguhnya sejuklah hati ini mendengarkan nasihatnya, hiduplah hati ini dengan cahaya hikmah dari mutiara kata katanya bagaikan tanah yang subur lalu disirami air hujan.
  25. Hai anakku; ambillah harta dunia sekedar keperluanmu saja, dan nafkahkanlah yang selebihnya untuk bekal akhiratmu. Jangan engkau tendang dunia ini ke keranjang atau bakul sampah karena nanti engkau akan menjadi pengemis yang membuat beban orang lain. Sebaliknya janganlah engkau peluk dunia ini serta meneguk habis airnya karena sesungguhnya yang engkau makan dan pakai itu adalah tanah belaka. Janganlah engkau bertemankan dengan orang yang bersifat dua muka, kelak akan membinasakan dirimu.

Saturday, March 19, 2011

Latih Anak-Anak Berfikir Positif


Kadang-kadang dunia persaingan akademik dan hambatan pembelajaran formal menjadikan anak-anak tumpul pemikirannya.
Ibu bapa masakini terlalu berlumba-lumba untuk melihat anak mendapat keputusan peperiksaan yang boleh membanggakan mereka, atau sekurang-kurangnya tidak menjatuhkan air muka bila ditanya oleh kawan-kawan, saudara mara atau jiran tetangga.
Terkadang anak-anak menjadi mangsa. Mereka mangsa ibu bapa yang mahu mempertahankan keegoannya.
Mendapat keputusan yang tinggi dalam peperiksaan belum tentu membuktikan anak-anak akan menjadi cemerlang.
Keputusan peperiksaan yang baik boleh menjadi petanda bahawa anak itu bersungguh-sungguh, rajin, punya daya ingatan baik, cepat memahami sesuatu dan bijak menyelesaikan sesuatu masalah.
Namun ia bukan satu bukti yang mutlak. Anak-anak yang cemerlang adalah yang punya keunggulan dalam rohaninya, pemikirannya, emosinya, akhlaknya dan fizikalnya.
Berfikir Untuk Cemerlang
Bahkan dalam aspek pemikiran, keputusan peperiksaan hanya dapat mengambarkan sebahagian kecil daripada kecemerlangan pemikirannya.
Oleh yang demikian ibu bapa perlu memiliki gambaran yang tepat berkaitan usaha memperkembangkan pemikiran anak-anak agar menjadi anak yang berfikiran cemerlang dan hebat.
Seperti yang pernah dibincangkan dahulu, Islam meletakkan asas yang kukuh dalam pembinaan pemikiran yang seimbang. Al-Quran itu sendiri menyedikan wahana unggul dalam membentuk pemikiran anak-anak.
Selain itu, Islam amat menggalakkan umatnya mengembangkan kebolehan berfikir.
Ungkapan "mudah-mudahan kamu berfikir', 'semoga kamu menggunakan akal' atau seumpamanya kerap didapati dalam Al-Quran.
Allah menyuruh para mukminin agar sentiasa merenung, bertafakur dan memikirkan dengan mendalam setiap fenomena alam yang dicipta oleh Allah.
Semuanya menjadi bahan untuk mendekatkan diri kepadaNya dan menjadikan umat muslimin cemerlang dunia akhirat.
Bahkan kecemerlangan Islam pada generasi awalan juga berlaku kerana keberanian umat Islam meneroka alam ilmu dan pemikiran bagi memenuhi kehendak agama dan manusiawi.
Asas kecemerlangan dalam pemikiran ialah mempunyai ilmu yang mantap dan kemahiran berfikir yang hebat. Soal kemahiran dalam berfikir kurang menjadi perhatian ibu bapa pada hari ini.
Anak-anak banyak didedahkan dengan fakta dan data.
Namun, sedikit dibiasakan dengan seni bagaimana menganalisa dan mengolah fakta, pengalaman, maklumat dan data.
Mereka banyak diarah untuk melakukan itu dan ini, tetapi sedikit didorong untuk mencari inisiatif dan berfikir secara proaktif.
Proaktif ya, reaktif tidak..
Anak-anak perlu diajar menjadi proaktif bukannya sekadar reaktif.
Anak yang reaktif ialah anak yang tidak mampu mengawal dirinya dalam menghadapi cabaran.
Dia cepat menyalahkan cabaran yang mendatang, dan lambat berfikir untuk mengatasainya.
Dia suka merungut-rungut dengan kesulitan dan sulit untuk meragut peluang penyelesaian.
Dia amat terpengaruh dan terkesan dengan apa yang menimpa ke atas dirinya dan amat kecil kebolehan untuk mempengaruhi dan mengawal sikap atau perlakuan diri sendiri.
Dia hanya berusaha apabila ditekan dan dipaksa.
Sebaliknya anak-anak yang proaktif adalah anak-anak yang tahu halatuju hidupnya dan berusaha melaksanakan tanggungjawabnya.
Dia berupaya untuk membuat keputusan dan pilihan dalam kehidupan seharian, dan bertanggungjawab atas pilihannya. Kesulitan yang menimpa tidak dianggap 'masalah' tetapi sebagai satu 'cabaran'.
Lantas dia menghadapainya dengan tabah.
Anak-anak yang proaktif juga punya kesedaran, dan keinsafan sehingga terdorong untuk melakukan kerja-kerja baik walau pun tanpa ditekan atau dipaksa.
Pemikiran dan sikap proaktif bukan wujud secara semulajadi dalam diri anak-anak.
Ia adalah hasil tarbiyah tidak formal sama ada sengaja atau tidak sengaja oleh pendidik mereka-terutamanya ibu bapa.
Pertamanya, anak-anak perlu mengerti matlamat hidupnya-menjadi hamba Allah yang cemerlang dalam melaksanakan tanggungjawab sebagai khalifah. Hal ini perlu diulang-ulang oleh ibu bapa.
Keduanya, setiap apa yang suruh kepada anak-anak perlu dinyatakan sebabnya. Juga perlu dikaitkan dengan matlamat unggul tadi. Jika anak-anak disuruh mengemaskan bilik, nyatakan sebabnya.
Jika anak diminta habiskan nasi sehingga licin, sebutkan tujuannya. Demikian lah seterusnya.

Mufasa's Death - Lion King

Puisi untuk mu bonda..

Untuk Mu Bonda

Setiap saat ku lalui hidupku bersamamu ibunda, 
Ku rasakan ketenangan dan kenyamanan,
Menyusahkan dirimu menjadi kebiasaan, 
Namun kau tetap tersenyum riang.

Saat ku masih kecil,

Ku ganggu tidurmu dengan tangisan nakal ku,
Ku sibukkan harimu dengan merawatku,
Namun kau tak pernah mengeluh. 

Dan disaat ku beranjak remaja, 

Di saat ku sedang mencari jati diriku, 
Kau selalu hadir dengan ketegasanmu, 
Yang kau balut kasih sayang dan cinta kepadaku.

Namun saat ku beranjak dewasa,

Aku mengecewakanmu,
Ku musnahkan impianmu,
Namun kau tetap tersenyum padaku. 

Padahal ku tahu hatimu menangis,

Kau begitu hebat bunda,
Kau biarkan hatimu menangis, 
Hanya kerana kau tak mahu melihat diriku bersedih.

Melihat diriku terpukul dengan kegagalanku mewujudkan impianmu,

Dari kecil hingga dewasa tak pernah sekalipun permintaanku kau abaikan, 
Dan keinginanku selalu kau kabulkan,
Namun satu impianmu tak bisa kuwujudkan,
Maafkan aku bunda. 

Ya ALLAH... 

Hambamu memohon kepadamu,
Jikalau engkau memanggil bondaku tercinta,
Ku mohon padamu Ya Rabbi, 
LindungiLah bunda dari api siksamu,
Seperti dia melindungiku selama ini.

Dia membesarkanku dengan izinmu, 

Dan disaat kau panggil bundaku, 
Kumohon izinmu Ya Rabbi,
Untuk bundaku memasuki syurgamu.

Bonda… 

Sekarang Kau telah pergi tuk selama-lamanya, 
Namun anakmu masih tak bisa memberikan apa-apa, 
Baik buatmu bahagia ataupun bangga, 
Dengan anak-anakmu tercinta. 

Bonda… 

Ku tahu engkau pergi dengan tenang, 
Amanah Yang maha Kuasa telah kau tunaikan, 
Menuntun anakmu menjadi idaman.

Father Forgets

Father Forgets
by W. Livingston Larned

Listen, son; I am saying this as you lie asleep, one little paw crumpled under your cheek and the blond curls stickily wet on your damp forehead. I have stolen into your room alone. Just a few minutes ago, as I sat reading my paper in the library, a stifling wave of remorse swept over me. Guiltily I came to your bedside.


There are things I was thinking, son: I had been cross to you. I scolded you as you were dressing for school because you gave your face merely a dab with a twoel. I took you to task for not cleaning your shoes. I called out angrily when you threw some of your things on the floor.

At breakfast I found fault, too. You spilled things. You gulped down your food. You put your elbows on the table. You spread butter too thick on your bread. And as you started off to play and I made for my train, you turned and waved a hand and called,
"Goodbye, Daddy!" and I frowned, and said in reply, "Hold your shoulders back!"

Then it began all over again in the late afternoon. As I came Up the road, I spied you, down on your knees, playing marbles. There were holes in your stockings. I humiliated you before you boyfriends by marching you ahead of me to the house. Stockings were expensive - and if you had to buy them you would be more careful! Imagine that, son, form a father!

Do you remember, later, when I was reading in the library, how you came in timidly,
with a sort of hurt look in your eyes? When I glanced up over my paper, impatient at the interruption, you hesitated at the door. "What is it you want?" I snapped.

You said nothing, but ran across in one tempestuous plunge, and threw your arms around my neck and kissed me, and your small arms tightened with an affection that God had set blooming in your heart and which even neglect could not wither. And then you were gone, pattering up the stairs.

Well, son, it was shortly afterwards that my paper slipped from my hands and a terrible sickening fear came over me. What has habit been doing to me? The habit of finding fault, of reprimanding - this was my reward to your for being a boy. It was not that I did not love you; it was that I expected too much of youth. I was measuring you by the yardstick of my own years.

And there was so much that was good and fine and true in your character. The little heart of you was as big as the dawn itself over the wide hills. This was shown by your spontaneous impulse to rush in and kiss me good night. Nothing else matters tonight, son. I have come to your bedside in the darkness, and I have knelt there, ashamed!

It is a feeble atonement; I know you would not understand these things if I told them to you during your waking hours. But tomorrow I will be a real daddy! I will chum with you, and suffer when you suffer, and laugh when you laugh. I will bite my tongue when impatient words come. I will keep saying as if it were a ritual:
"He is nothing buy a boy - a little boy!"

I am afraid I have visualized you as a man. Yet as I see you now, son, crumpled and weary in your cot, I see that you are still a baby. Yesterday you were in your mother's arms, your head on her shoulder. I have asked too much, too much.

MAHKOTA UNTUK AYAH

“Ayah, maafkan Udin. Andai Udin tahu hasrat ayah. Andai Udin tahu impian ayah. Andai Udin tahu rahsia hati ayah. Udin takkan bantah cakap ayah. Udin akan mengaji Quran sungguh-sungguh dengan Ustaz Naim. Udin akan tunaikan impian ayah kala ayah masih disisi,” sayu kedengaran suara Ustaz Saifuddin. 

Jiwanya dibentur gundah. Dia baru usai menghadiahkan bacaan Yassin buat ayah. Ustaz Saifuddin mengusap-usap lembut batu nisan. Seakan-akan dia membelai kepala ayah. Raut wajahnya terpampang rasa terkilan.

“ Udin buka kelas Al-Quran untuk orang-orang tua sekarang. Udin mengajar sepenuh masa di situ. Ramai pakcik-pakcik dan makcik-makcik datang mengaji. Seronok Udin tengok semangat mereka. Bersungguh-sungguh benar mereka mahu belajar Al-Quran. Kalau ayah ada…,” 

Udin tidak dapat meneruskan bicara. Kerongkongnya terasa perit. Air yang bertakung di tubir mata sudah lama berjujuhan.

“Ayah, semalam Udin mimpi. Udin lihat ayah dipakaikan mahkota yang sinarnya terang benderang. Lebih bercahaya dari sinar matahari. Wajah ayah berseri-seri. Ayah pandang Udin. Ayah senyum. Tak pernah Udin tengok ayah senyum semanis itu. Kalau boleh, waktu itu Udin tidak mahu celikkan mata. Biarlah Udin terus pejam dan menikmati senyuman ayah. Adakah ayah sudah ampunkan Udin? Ayah, Udin rindukan ayah,” Ustaz Saifuddin menyeka air mata yang kian tidak terbendung. 
**********************************************
Wajah Udin berkerut menahan sakit. Rasa tidak puas hati menyembur-nyembur dari anak matanya. Dikerling betis yang kini berbalar. Kesan-kesan merah tampak jelas. Air mata ditahan. Tidak dibenarkan walaupun setitis gugur. Menangis ertinya lemah. Ayah tidak adil. Kenapa dia sahaja yang selalu kena marah. Kenapa dia sahaja yang selalu dirotan. Ayah memang tidak sayangkan dia. Ayah hanya sayangkan Kak Sarah. 

Dia menjeling tajam ke arah Kak Sarah. Geram membuncah di hati melihat muka selamba Kak Sarah yang seolah-olah mengejek-ejeknya. Kak Sarah memang sengaja hendak kenakan dia. Kak Sarah memang gatal mulut. Kak Sarah tidak patut memaklumkan ayah tentang hal dia mandi di sungai hujung kampung sekaligus tidak menghadiri kelas agama. Kak Sarah memang menyibuk. 

Muqaddam dan papan rehal di atas meja diregut kasar. Kakinya sengaja dihentak-hentak ketika berjalan. Berdetap-detup bunyi papan lantai dipijak.

“ Nanti!” Kak Sarah menahannya.

“Apa lagi!” sergah Udin. Mukanya merona merah.

“Tak mahu pakai kopiahkah?” Kak Sarah berlembut. Cuba menyiram api kemarahan adiknya. 

Cepat-cepat Udin merabut kopiah lusuh di tangan Kak Sarah. Ternyata Kak Sarah gagal menyejukkan hati Udin. Udin lemas selalu dileteri ayah. Ayah selalu membanding-bandingkan dirinya dengan Kak Sarah. Ayah selalu memuji-muji Kak Sarah. Memang dia tidak nafikan Kak Sarah punya banyak kelebihan berbanding dirinya. Darjah tiga Kak Sarah sudah khatam Al-Quran. Setiap tahun Kak Sarah naik ke pentas menerima anugerah pelajar cemerlang. 

Dengan keputusan yang memberangsangkan dalam UPSR Kak Sarah dapat melanjutkan pelajar di sebuah sekolah menengah sains. Memang Kak Sarah menjadi kebanggaan ayah dan emak. Sebaliknya, Udin masih membaca Muqaddam walaupun kini sudah berusia sepuluh tahun. Namanya kerap juga dipanggil waktu perhimpunan kerana tidak siap tugasan yang diberi oleh guru ataupun ponteng kelas. 

Dia lebih suka menghabiskan sepanjang petang memancing ikan atau mandi sungai di hujung kampungnya daripada menghadiri kelas agama. Kadang-kadang dia berbasikal hingga ke kampung seberang semata-mata mahu bermain bola sepak. Pada malam hari, budak-budak lain terkocoh-kocoh pergi mengaji di rumah Ustaz Naim, Udin bersama-sama dua tiga rakannya yang lain seronok berlumba basikal di atas ban. 

Ayah rungsing memikirkan tentang anak jantannya yang seorang ini. Degilnya bukan sedikit. Puas Udin dirotan dan dihukum oleh ayah. Pernah ayah mengikat Udin pada batang pokok rambutan di belakang rumah kerana ponteng kelas mengaji. Habis badan Udin merah-merah digigit kerengga. Pernah juga Udin dikurung di luar rumah kerana pulang dari bermain lewat petang. Namun, insafnya hanya bertahan beberapa hari sahaja. Kemudian Udin kembali dengan sikap bebalnya. 

Lantaran itu, Udin acapkali dimarahi dan dileteri ayah. Tiada hari yang dilalui Udin tanpa bebelan dan jalur-jalur merah pada tubuh kecilnya. Mujur ada emak. Emaknyalah yang selalu mempertahankannya apabila dia dimarahi ayah. Ketika ayah mengangkat rotan, Udin cepat-cepat berlindung di belakang emaknya. 

“ Esok kita akan bertolak selepas subuh. Pakaian dan barang-barang keperluan dah siap dikemas Udin?” suara garau ayah mengejutkan Udin. Lamunannya terganggu. Raut wajah ayu Fatimah, anak Haji Hussain yang bermain-main dalam anak matanya sebentar tadi pecah berkecai.

“ Sudah ayah,” Udin gugup. Matanya disapa sayu. 

Esok Udin akan berpisah dengan Fatimah. Udin akan dihantar melanjutkan pelajar di sebuah pondok di Kelantan. Keputusan UPSR yang corot menyebabkan dia tidak berjaya menempatkan diri di mana-mana sekolah menengah berasrama penuh mahupun sekolah menengah sains. Ayah mengambil keputusan menghantar Udin mendalami ilmu agama. Itu memang impian ayahnya selama ini. Ayah tidak mahu Udin bergaul lagi dengan rakan-rakan yang biadap tingkahnya. 

Pada mulanya Udin berasa tertekan amat. Udin terkongkong dengan pelbagai peraturan dan pantang larang sepanjang berada di pondok. Kebebasan bermain dan merayau-rayau bersama rakan-rakan yang pernah dinikmati suatu masa dulu tidak dapat dilaksanakan lagi kini. Setiap hari, Udin perlu menghadap Al-Quran. Bukan sekadar membaca, menghafal malah! Udin juga perlu mengulit pelbagai kitab-kitab tebal seperti Fathul Muin, Riyadhus Salihin dan Ihya Ulumuddin. 

Segala kerja rumah harian seperti membasuh, melipat dan menyeterika baju terpaksa dilakukan sendiri. Udin agak ketinggalan berbanding sahabat-sahabat lain kerana Udin masih merangkak-rangkak membaca Al-Quran. Lantaran itu, dia tidak dapat menghantar banyak hafalan baru sewaktu tasmi dengan ustaz. Penguasaan bahasa arabnya juga lemah. 

Pernah disuarakan pada ayahnya untuk berhenti belajar di pondok dan menyambung saja pengajian di sekolah menengah biasa. Namun ayah tidak ambil pusing. Mahu tidak mahu, Udin cuba menyesuaikan diri. Dia cium tangan, pipi dan dahi panas ayah seperti biasa pagi Jumaat itu sebelum bertolak pulang ke pondok selepas menghabiskan cuti beberapa hari di rumah. 

Ketika usai solat asar petang hari yang sama, mudir madrasah, Ustaz Syukri tergesa-gesa berjumpanya. Dia terjelepuk longlai mendengar berita pemergian ayah. Petang itu juga dia pulang semula ke kampung halamannya. Bagai mimpi. Sabtu keesokan hari Udin mencium pipi dan dahi sejuk ayah yang tidak lagi bernyawa. 

Kata emak ayah meninggal ketika menanti waktu asar menjelang. Tiba-tiba sahaja jantungnya gagal berfungsi.Wajahnya masih dibasahi titisan air wudhuk kala malaikat maut bertandang. Udin harapan ayah. Udin sandaran ayah. Suatu hari nanti, apabila Udin sudah pandai mengaji dan mahir ilmu Al-Quran ,ayah mahu belajar dengan Udin. Ayah tidak tahu baca Quran. Ibu hendak ajarkan dia tidak mahu. Ayah hendak Udin yang ajarkan dia. 

Setiap hari dia panjatkan doa agar Allah lembutkan hati Udin dan mudahkan Udin belajar Quran. Ayah malu untuk berguru dengan Ustaz Naim. Katanya sudah senja sangat untuk berguru lagi. Bicara ibu beberapa hari selepas ayah dikebumikan bersimpongang di indera dengar Udin. Tiada air mata yang tumpah kala itu. Bukan Udin tidak sedih. Bukan Udin tidak tersentuh. Cuma segala-galanya berlaku tanpa diduga. 

“Orang yang membaca Al-Quran sedangkan dia mahir melakukannya, kelak mendapat tempat di dalam Syurga bersama-sama dengan rasul-rasul yang mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca Al-Quran,tetapi dia tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan nampak agak berat lidahnya yakni dia belum lancar, dia akan mendapat dua pahala. Hadis ini diriwayat oleh Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Al-Hujjaj bin Muslim Al-Qusyaiy An-Nisabury dalam dua kitab Shahih mereka,” Ustaz Syukri menyejukkan hati Udin tika Udin mengadu kesukarannya membaca Al-Quran apatah lagi menghafalnya.

“ Ustaz, bagaimana mungkin saya lakukan untuk membantu ayah yang tidak mengenal huruf-huruf Quran jauh sekali membacanya?” udin melontar pertanyaan yang terbuku dalam hatinya. Ustaz Syukri mengelus-elus janggutnya yang kian memutih. Air mukanya tenang. Hati pasti akan damai memandang kejernihan wajahnya. 

“ Udin ajarlah ayah. Di sini Udin belajar sungguh-sungguh ilmu Quran. Kemudian bila pulang ke kampung Udin kenalkan ayah dengan Kalamullah ini. Ingat, sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya. Orang tua ini selalunya ego. Dia segan nak pergi belajar dengan orang lain. Tentu dia malu. Mungkin dia akan lebih selesa jika yang mengajarnya itu darah dagingnya sendiri,” Ustaz Syukri menepuk-nepuk lembut belakang badan Udin.

“Tapi ayah Udin sudah tiada lagi...”Udin bersuara. Perlahan.Dia menekur hamparan hijau yangdijadikan alas duduk. Angin yang menyembung dari ruang tingkap bertiup kasar menampar-nampar tubuh Udin. Angin seperti mengutuk Udin kerana dosa-dosa lampau pada ayah. Sedih mengasak-ngasak sukma. 

“Barangsiapa membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya, Allah memakaikan pada kedua orang tuanya di hari kiamat suatu mahkota yang sinarnya lebih bagus dari pada sinar matahari di rumah-rumah di dunia. Maka bagaimana tanggapanmu terhadap orang yang mengamalkan ini,” Ustaz Syukri memetik kembali hadis riwayat Abu Dawud yang pernah dibaca sewaktu dalam kelas Al-Quran. 

Ketika itu mereka sedang menekuni kitab At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran karangan Imam Nawawi. Udin tertegun. Udin menyeka air matanya. Wajah Ustaz Syukri direnung. Ada semangat menyelinap dalam lipatan hatinya. Biar dia masih bertatih membaca Kalam Allah. Biar dia tidak hebat seperti Kak Sarah dalam pelajaran. Biar sahabat-sahabat jauh meninggalkannya di belakang. Dia tidak akan putus asa.Dia akan mendalami bersungguh-sunggguh ilmu Quran dan mengamalkannya. 

Dia mahu hadiahkan ayah mahkota itu. Dia mahu ayah miliki mahkota itu dan menghuni syurga Ilahi walau ayah tidak pernah menyelak lembaran Quran apatah lagi membacanya. Angin kembali berpuput mesra. Seolah-olah memujuk udin. Seolah-olah merestui impiannya.

Kecantikan Sejati Bukan Di Wajah


"Boleh saya melihat anak saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan seorang anak dengan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang menutupi wajah bayi lelaki yang comel itu.
Ibu itu menahan nafasnya. Doktor yang menunggunya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit tidak sampai hati menatapi wajah ibu tersebut. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga.
Waktu berlalu dan kini bayi tersebut telah menjadi seorang anak yang boleh berkativiti dengan sempurna, cuma penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.
Suatu hari anak tersebut bergegas pulang ke rumah terus membenamkan wajahnya di pelukan ibunya yang menangis. Ia tahu hidup anaknya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Sambil teresak-esak anak lelaki itu mengatakan yang dia diejek oleh orang dewasa dan dikatakan anak ini adalah makhluk aneh.
Di sekolah anak tersebut disukai oleh rakan-rakan sekolah. Anak tersebut membesar tampan dengan kecacatannya. Dia berbakat dalam bidang muzik dan penulisan.
"Ibu,saya ingin menjadi ketua kelas."
Ibu hanya mendiamkan diri, tapi di dalam hati ibu merasa kasihan dengan anaknya.
Suatu hari si Ayah terus berjumpa dengan seorang doktor yang boleh melekatkan telinga untuk anaknya.
"Saya percaya saya boleh memindahkan sepasang telinga untuknya, tetapi harus ada orang yang tampil untuk menderma".
Beberapa bulan kemudian si ayah memanggil anaknya sambil berkata, "Nak, seorang yang tak ingin dikenali telah bersedia mendermakan telinganya padamu. Kami harus segera mengirim kamu ke hospital untuk menjalani pembedahan tetapi jangan ditanya siapa yang menderma."
Pembedahan dilakukan dengan berjaya dan kini telah lahir seorang lelaki yang mempunyai cukup sifat. Bakat muziknya yang hebat menjadikan ia terkenal dan menerima banyak penghargaan dari sekolahnya.
Masa berlalu dan dia pun berkahwin dan bekerja sebagai seorang yang berpangkat besar. Terdetik di hatinya tentang masa-masa silam lalu menghampiri ayahnya.
"Ayah, saya hendak mengetahui siapa yang telah mengorbankan ini semua pada saya, ayah. Ia telah membuat sesuatu yang amat besar dan ingin sekali saya membalas budinya."
Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau tidak boleh membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu."
Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan kata-kata, "Ayah tidak dapat membuka rahsia ini sebelum tiba saatnya."
Tahun berganti tahun ayahnya tetap menyimpan rahsia. Hinggalah pada suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan lelaki itu berdiri ditepi jenazah ibunya yang baru saja meninggal dunia. Dengan perlahan dan penuh syahdu si ayah membelai rambut isterinya yang terbujur kaku sambil menyelak rambut sehinggalah tampak bahawa si ibu tidak mempunyai telinga.
Sambil menangis si ayah berkata, "Ibumu sangat suka menyimpan rambut yang panjang dan tak seorang menyedari bahawa ia telah hilang sedikit kecantikkannya."
Kecantikkan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh tapi di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada zahirnya, namun pada apa yang tidak dapat dilihat. Kasih sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang dikerjakan dan tidak diketahui.

Qaradawi Dan Misyar; Aku Mahu Jadi IBU!!

SEANDAINYA seorang wanita berhasil menggenggam dunia, berhasil mendapatkan semua anugerah penghargaan dari dunia dan berhasil mendapatkan semua kehebatan dunia, namun tidak mempunyai suami, sebenarnya wanita tersebut sangatlah miskin.
Dalam-dalam saya tanamkan persepsi itu ke jiwa saya. Persepsi itu didatangkan dari lidah seorang nisa yang sudah memacakkan besi tekad yang tidak boleh digoyang gugat. Sebagai rafik yang setia, saya cuba menghulurkan seulas persefahaman.
Namun ruang fikir saya yang waras ini payah untuk menjumlahkan persetujuan. Saya risaukan nasibnya pada hari-hari mendatang. Nasib bakal zuriatnya yang akan dikemudi seorang pendayung sahaja. Sepatutnya, berat dayung di tangan suami, berat jugalah dayung di tangan isteri dalam menongkah samudera kehidupan yang sesekali dipukul gelora.
Biarlah masa depan itu datang sendiri. Jangan cemas dengan hari esok. Kalau hari ini aku mampu lakukan yang terbaik, insyaallah esok akan baik juga Nafeesah, kan?
Zulaikha yang saya kenali memang bijak menangkis hujah. Barangkali kerana kebijaksanaan itu jugalah tiada lelaki yang berani menitipkan cinta. Zulaikha, wanita bijak yang sudah terlajak usia, payah diajak mencari cinta kerana istiqamahnya terhadap kerjaya payah diinjak-injak dan sukmanya hanya terletak kasih ayahanda bonda. Cuma akhir-akhir ini dia telah terserempak dengan satu rasa yang menggetarkan tetapi indah!
Zulaikha menggilai Yusuf? Saya menduga. Polos.
Bukan menggilai. Mengagumi. Aku, Zulaikha, cintakan kesolehan seorang Yusuf. Aku pencinta akhlaknya! Aku mahu Yusuf menuntun aku ke pintu jannah.
Ayat Zulaikha tampak bersungguh. Saya memancing lagi.
Jangan kau carikkan pakaian takwanya, Zulaikha.
Insya-Allah tidak sama sekali, Nafeesah. Aku bukanlah Zulaikha yang mencintai Yusuf kerana ketampanannya hingga sanggup mencemar maruah! Aku sedar tanggungjawabnya untuk bahtera yang lebih berhak. Aku tidak akan membiarkan bahunya sendeng di akhirat nanti kerana gagal berlaku adil.

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Iman
Saya rasa terpukul. Saya mafhum, ucapan itu mewakili perasaannya sendiri. Benar, Yusuf idaman Zulaikha tidaklah setampan mana. Kalau dibandingkan dengan Zulaikha, bagaikan pekatnya langit malam dan cerah bersinarnya suria pagi. Yusuf bukanlah jejaka pujaan gadis. Apatah lagi, Yusuf hanyalah penjual ikan di pasar borong. Namun, setelah mengenali Yusuf yang bergelumang dengan kehanyiran ikan itu, persepsi saya lantas gugur terjunam! Yusuf itu memiliki kewangian iman yang
tidak jemu untuk dihidu! Yusuf itu memiliki sepersil ketenangan yang menjalarkan kebahagiaan!
Mata saya menombak ke wajah Zulaikha. Kecantikan yang sulit saya zahirkan. Wajah putih mulus, kening bertaut dan berhiaskan dua lekuk di tebing pipi, rupanya masih sulit untuk membeli hati lelaki. Barangkali kecantikan yang dilengkapkan dengan setambun ilmu dan kerjaya yang mantap itulah menjadikan lelaki ketakutan. Maka jadilah Zulaikha, peguam hebat yang bukan saja digeruni di dunia perundangan, malah turut digeruni oleh kumbang untuk cuba-cuba menghinggap di hatinya!
Nafeesah, kebahagiaan itu tidak terletak pada keturunan, harta benda dan kecantikan lahiriah, tapi kebahagiaan itu terletak pada agama, ilmu pengetahuan, kesopanan akhlak dan tercapainya cita-cita. Dalam hadis riwayat Imam Tarmizi pun ada menyatakan, semulia-mulia seorang suami ialah yang memberi agama kepada isterinya.
Begitulah kilah Zulaikha tatkala saya mempertikaikan mengapa mesti Yusuf? Yusuf yang kurang pada material, wajah, kedudukan, malah paling menjengkelkan kurang pada usia. Sedangkan Zulaikha dilebihkan segalanya, apatah lagi, Zulaikha yang telah dilebihkan usianya 10 tahun daripada Yusuf!
Ketika di dunia kampus bukan tidak ada yang cuba-cuba memetik mawar semerbak mengharum itu. Tetapi dia sendiri yang memejamkan mata terhadap panahan mata arjuna. Tidak hairanlah dia telah menukilkan dirinya sebagai pelajar terbaik.
Pengetahuan adalah tempat untuk kita berehat dan tempat berlindung pada hari tua. Jika kita tidak menanamnya semasa masih muda, ia tidak akan memberi perlindungan bila kita tua nanti, Nafeesah.
Itulah alasan sahabat saya yang degil itu. Apabila melangkah ke alam guaman pula, dia komited tanpa mahu menoleh-noleh lagi kepada cacamarba warna kehidupan.
Bekerja itu adalah medium yang terbaik supaya manusia cinta kepada penghidupan. Walaupun bekerja itu akarnya pahit Nafeesah, tetapi buahnya amat manis!
Itu falsafahnya sesudah mengejar cita-cita. Falsafah itulah menghadiahkan sebuah firma guaman yang gah, kereta dan rumah mewah hingga dia terlupa akan perjalanan sebuah naluri yang memerlukan sebuah perhentian. Dia lupa untuk jatuh cinta dan mengabaikan manis senyuman sang Adam. Dia membuat anologi, jangan tertipu dengan senyuman kerana sesungguhnya racun itu kadangkala dalam manisan juga.
Cuma akhir-akhir ini, setelah gemulah ayahanda bonda kesayangannya berangkat pulang ke alam barzakh, Zulaikha telah dihimpit kesunyian. Kesunyian itulah mendorongnya secara tiba-tiba mencari pelengkap hidup.
Betullah Nafeesah, orang pernah cakap, semua pengetahuan diperoleh melalui proses pembelajaran. Kecuali cinta. Cinta itu tumbuh sendiri tanpa perlu berguru.
Buat pertama kalinya dalam ukhuwah kami ini, dia tiba-tiba bersuara membenarkan cinta! Sungguh-sungguh buat saya rasa terpana.
Jangan terpaksa berkahwin kalau untuk hilangkan status andartumu, Zulaikha.
Nafeesah, kau tentunya arif sirah Khadijah dan Muhammad, bukan?
Soalannya sinis. Saya termalu. Ternyata Zulaikha cuba mengirimkan cintanya kepada Yusuf sebagaimana Khadijah cuba melakukannya kepada Muhammad. Khadijah, saudagar wanita yang sudah berusia, namun diberikan kekayaan oleh-Nya, terpikat dengan Muhammad yang jujur
membawa barang-barang dagangan Khadijah yang diniagakan di Syam. Lalu, Zulaikha menjadikan saya seperti Nafisah binti Muiyyah, teman Khadijah untuk memanjangkan lamaran. Ya, saya mewakili Zulaikha untuk meleraikan hasrat kepada Yusuf. Bunyi macam sumbang, tapi itulah realitinya. Dan, reaksi Yusuf sendiri, terkebil-kebil, linglung, gumam dan hampir kehilangan diksi.
Nafkah
Tetapi kisah ini bukan benar-benar menyalin sirah Khadijah-Muhammad. Zulaikha menginginkan Yusuf yang sudah beristeri. Ketidakmampuan kewangan Yusuf, membuatkan Zulaikha merelakan sebuah perjanjian. Perjanjian bertulis, Yusuf sebagai suami hanya perlu memberi nafkah batin, sedang nafkah zahir sepenuhnya akan ditanggung oleh Zulaikha. Zulaikha tidak kisah Yusuf jarang-jarang bermalam di rumahnya. Sedangkan, Muhammad-Khadijah susah senang bersama.
Zulaikha mencuplik pandangan Mufti Mesir, Fadhilah al-Syeikh Dr. Ali Jum'ah, yang menyatakan jika rukun-rukun nikah telah sempurna, maka sahlah perkahwinan itu dan dibenarkan jika wanita mahu menggugurkan hak yang berhak diperoleh daripada hal yang berkaitan dengan kewajipan
suami. Seperti Sayyidah Saudah binti Zam'ah yang tidak mengambil hak bermalam bersama Rasulullah, sebaliknya memberikan hak itu kepada Aisyah r.a. Buat Zulaikha, dia berhajatkan ada buah cinta yang bakal tumbuh daripada pohon cinta mereka dan dia mahu membesarkan sendiri
buah cintanya.
Cinta sejati tidak memandang wang, Nafeesah. Tetapi wang sangat penting untuk memelihara cinta, bukan?
Itu pendiriannya berkaitan prinsip-prinsip yang harus berdiri bersama cinta. Ya, kerana punya wang Zulaikha merelakan Yusuf tidak memberikan sesen sekalipun. Dia hanya menagih statusnya sebagai isteri yang dimuliakan dan dijanjikan jannah oleh-Nya.
Kau tahu, Nafeesah, wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutuplah pintu-pintu neraka dan terbuka pula pintu-pintu syurga. Wanita boleh masuk dari mana-mana pun pintu yang dia hajatkan tanpa dihisab. Malah, wanita yang taat pada suaminya, berpuasa dan bersolat, semua ikan di laut, burung-burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristighfar buatnya.
Kelihatan Zulaikha mengumbar senyuman tatkala menceritakan sabda-sabda Nabi s.a.w itu kepada saya.
Zulaikha, perjanjian sebegitu tidak memenuhi maksud sebuah institusi perkahwinan. Surah An-Nisa' ayat 34 jelas mengatakan suami diwajibkan mencari nafkah untuk isteri dan keluarganya. Lagipun, nanti apa kata masyarakat? Masyarakat kita tidak boleh terima perkahwinan sebegini,
Zulaikha.
Aku hanya akan fikirkan tentang orang-orang yang aku cintai. Sedetik pun aku tidak izinkan waktu aku untuk memikirkan tentang orang-orang yang aku benci. Kita diciptakan di alam keimanan yang begitu luas, namun acapkali kita menyempitkan jiwa kita dengan ketakutan, kesedihan dan ketidakpastian, Nafeesah?
Saya terkedu dengan hujah Zulaikha. Betapa beruntungnya hati yang dijadikan kediaman cinta, kerana cinta membuatkan Zulaikha melupakan urusan dunia!
Aku ingin menjadi seorang ibu. Aku amat berharap benih cinta kami segera subur dan menjadi buah yang boleh dipelihara penuh kasih sayang. Doakan aku, Nafeesah!
Pahit saya menelan impian Zulaikha. Zulaikha dan ibu tunggal tiada bezanya. Cuma beza dari segi istilah. Tetapi dia tetap adalah ibu yang ditinggalkan. Punya suami tapi boleh pulang sesuka hati saat mengidamkan tubuhnya. Pastilah benih yang akan lahir itu tidak akan mempunyai ayah sebagai model hidupnya. Berkali-kali saya mengingatkan tentang nasib anaknya yang pastilah akan kekurangan kasih sayang ayah andai dia memilih perkahwinan begitu. Saya terimbas ujaran Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaily yang mengklasifikasikan perkahwinan pilihan Zulaikha ini sebagai makruh dan wajar dielakkan. Hukumnya makruh jika pernikahan ini tidak merealisasikan semua tujuan dan motif perkahwinan, kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam keadaan yang sempurna.
Mendidik adalah pekerjaan hati, Nafeesah. Cukuplah doa solehnya sentiasa mengiringi aku dan anak-anak. Di luar sana, betapa ramai ibu tunggal yang mampu mendidik anak-anaknya hingga menjadi sebaik-baik umat. Tidak mustahil pun sekarang ni, seorang ibu dapat mendidik sepuluh anak tanpa suami.
Ahh, Zulaikha terlalu realistik. Hujahnya payah dipatah-patah. .. Dia terburu-buru mahu merasai perit nikmat mengandung. Dia terlalu menagih janji-janji pahala olehNya. Zulaikha tidak sabar saat mengandungkan janin dalam rahimnya, para malaikat akan beristighfar untuknya. Dia mahu Allah mencatatkan setiap hari dengan 1,000 kebajikannya dan menghapuskan 1,000 kejahatannya.
Zulaikha tidak sabar untuk melalui saat-saat sakit hendak bersalin. Keperitan itulah yang dijanjikan Allah kepadanya bagaikan pahala orang yang berjihad kepada jalan Allah. Saat-saat dia melahirkan anak, dia akan dikeluarkan dari dosa-dosa seperti keadaan ibu yang melahirkan. Apabila menyusui anak itu, maka setiap satu tegukan daripada susu ibu akan diberikan satu kebajikan. Apabila semalaman seorang ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah memberikan pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Islam. Itulah bunga-bunga impian Zulaikha sedang berkembang.
Saya amat takut andai Yusuf sudah puas, rasa bosan akan menjelma tanpa bertunda-tunda. Saya takut Zulaikha akan dilepaskan tanpa belas, lalu menciptakan rafik saya itu seorang janda. Nauzubillah. Tetapi itulah yang paling saya takutkan. Kesolehan Yusuf belum cukup kuat untuk
meyakinkan saya. Seperti sabda Rasulullah: Jika sesuatu urusan diserahkan kepada orang yang tidak layak, maka tunggulah saat kehancuran. Adakah Yusuf impian Zulaikha layak menggalas amanah ini?
Sahabat
Wajar atau tidak, ijab dan kabul sudah pun menjadi milik Yusuf dan Zulaikha dalam walimah ringkas. Saya hanya dapat menjadi sahabat yang mendoakan kebahagiaan mereka. Meskipun Yusuf mendapat keizinan isteri pertamanya, namun keizinan itu tidaklah didatangkan dengan nilai
kerelaan yang sepenuhnya. Maka mafhumlah saya, mengapa malam giliran Zulaikha bertunda- tunda. Zulaikha pula tidaklah memendam rasa kerana memang itulah kesediaannya selama in. Malah, dia makin memperdiarkan rasa terkilannya apabila dia disahkan bunting pelamin! Maha Mencipta Rabb!


Aku mahu Yusuf sendiri yang mengazankan anak ini nanti.
Itulah doa Zulaikha. Dia tidak jemu-jemu berbual dengan janin itu. Dia semacam tiada kerinduan kepada penanam zuriat itu meskipun sepanjang hampir sembilan bulan mengandung hanya beberapa kali saja Yusuf pulang. Alhamdulillah, mungkin berkat sabarnya juga, saat mengandung
langsung tidak mendatangkan masalah. Sesekali, setiap malam Jumaat Yusuf menelefon, Zulaikha akan menekapkan telefon genggamnya ke perut. Yusuf sedang mengalunkan ayat-ayat al-Quran ke pendengaran anak mereka!
Hari ini, pada 17 Rabiulawal yang indah, Yusuf menelefon saya mengkhabarkan seorang lagi umat Muhammad akan melihat dunia. Saat saya dan suami tiba di wad, syahdu mengiringi suasana tatkala Yusuf sedang mengalunkan qamat dan azan ke telinga suci bayi itu. Saya terkenangkan
hajat Zulaikha yang sudah terlunas.
Saya menghampiri Zulaikha. Zulaikha yang masih lemah pucat, dengan lembutnya menggenggam jemari saya sembari tersenyum indah.
Nafeesah, putera bernama Al-Qaradhawi ini, akan aku tarbiahnya hingga menjadi ulama terkenal! Aku mahu tahu pula apakah pandangannya terhadap perkahwinan yang dipilih umminya ini.
Sukma saya sungguh berkocak-kocak tatkala menadah ayat terakhir Zulaikha itu.